Dari Pelajar, Mahasiwa Hingga Masyarakat umum
Mirip film-film
zaman kerajaan yang selalu menyuguhkan perang keroyokan. Adu fisik,
dengan senjata seadanya, kemudian turun kejalan, dan melakukan aksi
pengeroyokan terhadap kelompok lain yang diangap sebagai musuh. Atau
dalam bahasa kerennya 'tawuran' , -cara ini banyak dijadikan sebagai
solusi mengatasi persoalan. Ketika ingin memerdekakan Demak dari
kekuasaan Majapahit, pasukan joko tingkir dengan semangat 'tawuran'
akhirnya maju tanpa takut akan terluka ataupun mati. Akhirnya Demak
Bintoro bediri sebagai kerajaan sendiri. Sepertinya kisah tawuran dan
kekerasan tak berhenti disitu saja. Bahkan mungkin sudah menjadi bagian
dari budaya Indonesia hingga masa kini. Entah, siapa yang harus
disalahkan. Hidup sepertinya hanya menjadi ajang untuk adu kekuatan,
tanpa kita tahu apa yang dibelanya, apa yang diperjuangkannya.
Masalah
ini cukup kronis mendera bangsa kita. Tawuran sepertinya dijadikan
satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan. Mulai dari anak SMP, SMA,
Mahasiswa bahkan ada tawuran antar kampung yang melibatkan hampir
seluruh warga kampung. Sepertinya bangsa ini sudah cukup sensitif akan
segala macam problema, hingga dengan sedikit pemicu saja sudah bisa
berimbas pada terjadinya saling serang antar kelompok, entah itu warga,
entah itu pelajar bahkan mahasiswa yang notabene menjadi contoh generasi
penerus bangsa ini. Dan ini terjadi kapanpun dan dimanapun di seantero
negeri ini. Dari Papua hingga Ibu Kota Jakarta. Di Papua, hanya karna
persoalan tanah ulayat, antar dua suku di pedalaman pulau itu harus
saling serang. Di Makasar, juga sering kali mahasiswa terlibat tawuran
dengan aparat, meski kadang hanya persoalan sepele (yang
dibesar-besarkan). Yang terakhir, kemarin, di Jakarta Lagi-lagi
mahasiswa UKI salemba terlibat tawuran, al hasil, kampus yang berada di
tengah-tengah Ibu Kota itu harus terbakar gedungnya lantaran terpercik
api dari bom molotov yang dilempar masa. Dan banyak lagi contoh lainya
yang mungkin jika saya tulis disini tak ada habisnya. Intinya, kita
harus jujur, bahwa Tawuran sepertinya sudah menjadi budaya di negeri
ini. Apa yang salah?
Dalam teorinya, Tawuran adalah budaya
kekerasan yang biasanya dipraktekkan oleh kelompok yang terbelakang.
Baik itu dari sisi mental, pengetahuan bahkan mungkin sampai menjamah
pada tataran religi. Tapi beda dengan yang terjadi di negeri kita, semua
yang terlibat tawuran justru orang-orang terpelajar. Mereka yang
mengenyam pendidikan! Tak jarang di TV kita saksikan mahasiwa terlibat
tawuran, baik antar sesama mahasiwa atau mungkin dengan aparat penagak
hukum. Bahkan jika anda masih ingat, beberapa tahun lalu, 'mungkin'
seluruh dunia juga menyaksikan, bagaimana anggota DPR kita juga terlibat
tawuran dalam sidang. Kita tentu tahu, mereka semua berasal dari latar
belakang pendidikan yang diatas rata-rata, sisi agama yang bagus, atau
paling tidak berlatar belakang 'tokoh' panutan dari daerah asalnya
masing-masing. Tapi apa? ketika masalah sudah mencapai deadlock, maka
adu jotos dianggap sebagai pilihan yang layak, saat emosi sudah tak
terkontrol lagi. Dewan terhormat yang berisi orang-orang pilihan
akhirnya menjadi cercaan banyak pihak.
Sepertinya budaya
kekerasan tidak hanya dialami Indonesia saja. Di Amerika yang menjadi
kiblat kebebasan berekspresi juga sering kali mendapat masalah dengan
budaya kekerasan. Budaya-budaya kekerasan, di Amerika lebih banyak di
picu oleh perlakuan yang tidak sewajarnya terhadap para penduduk migran.
Sehingga pada akhirnya, penduduk migran membentuk koloni dan membuat
perlawanan di jalan. Dan kelompok ini semakin banyak dengan beragam
nama. Salah satunya Geng MS. Mereka seringkali terlibat tawuran dengan
geng-geng lainya, bahkan tak jarang bentrok dengan aparat keamanan.
Sikap represif dari penegak hukum, tak bisa dijadikan satu-satunya
solusi. Ini terbukti, geng MS sampai saat ini tak bisa dimusnahkan dari
Amerika meski sudah puluhan bahkan ratusan anggota geng di penjara dan
di deportasi kenegara asalnya masing-masing. Geng MS semakin berkembang.
Dari Amerika, Venezuela, Argentina sampai El Savador. Bahkan mereka
sudah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan, karna bisa mengancam
stabilitas keamanan dinegara-negara tersebut.
Berkaca dari contoh
diatas, sepertinya kita harus memikirkan kembali, vaksin apa yang cocok
untuk mengatasi budaya kekerasan di negara kita ini. Ketika tindakan
represif aparat penegak hukum, justru menjadikan budaya kekerasan
semakin tidak terkontrol, tentu harus kita temukan pendekatan lain yang
lebih tepat dalam mengatasi persoalan ini. Saya sepakat dengan bahasa
Goenawan Muhammad- yang sering menyebut bangsa kita ini bangsa yang
sensitif. Atau mungkin lebih mendekati bangsa yang labil. Lebih dari 60
tahun merdeka ternyata tak membuat jiwa-jiwa nasionalisme warga
negaranya semakin bertambah, yang muncul justru Cauvinisme yang semakin
kental. Pada saat terjadi persoalan, bukan berfikir jauh soal bangsa dan
negara, tapi kelompok dan individu. Sehingga ketika terjadi persoalan,
sangat gampang untuk diprovokasi pihak-pihak lain yang tak
bertanggungjawab.
Atau mungkin ada persoalan lain yang juga menjadi penyebab semakin menjamurnya budaya kekerasan-tawuran?
Sensitifitas
dari masyarakat kita tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi. Tingkat
stress yang akut, juga bisa pemicu seseorang menjadi lebih sensitif dan
cepat marah. Barangkali pemerintah juga harus melihat, mental dari
warganya. Yang dipikirkan bukan hanya pembangunan fisik saja, melainkan
pembentukan mental tak boleh di abaikan. Tingkat stress bangsa kita
sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Isu-isu berita yang
membosankan, budaya infotaimen, harga sembako tinggi, gaji tak cukup,
banyak buruh di PHK, PNS tak sejahtera, korupsi merajalela, kesehatan
mahal, pendidikan mahal, dan segala macam persoalan ini menjadi bagian
dari setiap kita yang tinggal di Indonesia. Sementara disisi lain, hidup
di Indonesia tak ubahnya pulsa Wartel yang terus saja billingnya jalan,
dari mata melek hingga jam tidur. Pada saat bangun tidur, kita cuci
muka pakai air (harus bayar karna air di privatisasi), habis mandi,
tentu ngopi (harga gula-kopi mahal), merokok (Cukai rokok 30 persen),
setelah itu berangkat kerja. Sebelum sampai di tempat kerja kita sudah
stress duluan. Bagaimana tidak, kemacetan dimana-mana. Jumlah kendaraan
tak terkontrol, bahkan melebihi kemampuan badan jalan. waktu habis dalam
kemacetan. Akhirnya apa yang terjadi? baru dijalan saja kita sudah
stress, begitu sampai dikantor, semangat kerja menurun. Dan ini terjadi
tiap hari, tiap individu, apalagi mereka yang berdomisili di jakarta.
Yang akhirnya penyakit stress menumpuk 'akut'! Siapa saja bisa lebih
sensitif, lebih cepat marah! jadi wajar, jika pada zaman seperti
sekarang ini budaya tawuran masih ada di kota metropolis seperti
jakarta.
Dikutip dari sumber : http://magidbatam.blogspot.com/2009/06/budaya-tawuran-di-indonesia.html
Ulasan penulis : Tawuran. Iya, mungkin saat ini tawuran sudah menjadi "tren" yang sayangnya hanya akan menampilkan citra yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Alasannya pun beragam cenderung tak masuk akal. Ada yang tawuran karena memang adanya sejarah rivalitas antara (biasanya) kedua sekolah/institusi tertentu, ada juga yang berujar bahwa tawuran itu terjadi karena memperebutkan gengsi (lagi-lagi, biasanya) kedua sekolah/institusi tertentu. Namun sudah seperti yang kita tahu, tawuran hanya akan melahirkan stigma bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa yang pengecut. Logikanya? bisa kita lihat yang namanya tawuran pasti beramai-ramai. Sudah seharusnya, kita sebgai generasi emas bangsa Indonesia janganlah menyia-nyiakan waktu, emosi, bahkan nyawa demi "kegiatan" yang sungguh tiada manfaatnya ini. Yang saya inginkan hanya satu, yaitu melihat seluruh masyarakat Indonesia bisa bersatu membela Tanah Air juga tidak tercerai berai karena berperang akan senjata dengan sesama. Karena tawuran hanya akan menjadi akar rontoknya persatuan anak-anak/generasi muda Indonesia. dan untuk generasi muda, manfaatkanlah waktu kalian dengan kegiatan yang lebih berharga. So, for a better future. Let's make peace in this world. Allah Bless Indonesia! Merdeka!
TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
Nama : Andre Pradana
NPM : 304 13 913
Kelas : 1ID07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar