Sabtu, 27 Desember 2014

Kesamaan Derajat dalam Bersosialisasi

Dalam suatu ruang lingkup sosial sering ditemukan tentang pelapisan sosial. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara bertingkat. Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitrim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyaraka ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

Pengelompokan-pengelompokan tersebut bisa dilihat dari ukuran kekayaan, jabatan dan pendidikan seseorang. Misalkan orang yang mempunyai rumah atau mobil yang paling bagus ditempatkan pada tingkatan paling atas. Atau bisa juga orang yang mempunyai jabatan yang paling tinggi ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi. Begitu juga orang yang mempunyai pendidikan yang tinggi ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi. Kalau dilihat dari sejarahnya, pengelompokan-pengelompokan strata sosial tersebut sudah sejak dari awal kehidupan manusia itu sendiri. Contoh yang paling nyata adalah sistem kasta pada masyarakat India. Selain itu sejarah juga pernah mencatat mengenai sistem perbudakan di negara barat bahwa seorang kulit hitam tingkatannya tidak sama dengan seorang kulit putih.

Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.

Kesamaan derajat dalam bersosialisasi dalam masyarakat tidak terbatas pada faktor jenis kelamin (pria atau wanita), fisik (cacat atau sempurna, kulih putih atau kulit hitam), agama, umur (tua atau muda), suku, ras, agama, harta dan jabatan. Kesamaan derajat dalam bersosialisasi di Masyarakat dapat terwujud dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat seperti mengadakan gotong royong. Baik orang kaya maupun orang miskin, jika memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan maka mereka semua akan membaur menjadi satu, bergotong royong untuk membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka. Kegiatan lain yang dapat di wujudkan dalam kesamaan derajat  adalah musyawarah dalam menyelesaikan konflik atau merancang suatu kegiatan rutin di lingkungan sekitar. Berbagai pendapat yang dikeluarkan baik pendapat orang tua maupun pendapat pemuda yang ikut dalam musyawarah dapat diterima dan diskusikan bersama untuk mencapai suatu keputusan yang terbaik.

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
Nama  : Andre Pradana
NPM   : 30413913
Kelas  : 2ID06
Contoh-contoh taat pada hukum di masyarakat :
¨     Sadar hukum di Lingkungan Keluarga.
Setiap anggota keluarga harus dapat mengembangkan kesadaran diri dengan membiasakan berprilaku seperti dibawah ini :
·        Selalu menjaga nama baik keluarga.
·        Mentaati aturan keluarga yang berlaku.
·        Menggunakan fasilitas keluarga secara baik.
·        Mendengarkan nasihat dari orang tua.
·        Menghormati semua anggota keluarga.

¨     Sadar hukum di Lingkungan Sekolah.
Kesadaran hukum dapat dikembangkan oleh setiap siswa sekolah dengan membiasakan diri melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut :
ü Selalu menaati peraturan yang berlaku di Sekolah.
ü Disiplin belajar.
ü Ikut upacara bendera seminggu sekali.
ü Menyebrang jalan pada tempatnya.
ü Tidak membuat resah di Masyarakat.
¨     Sadar hukum di Lingkungan Masyarakat.
Perilaku-perilaku yang mencerminkan sikap sadar hukum, antara lain sebagai berikut :
§  Menjaga nama baik lingkungan masyarakat.
§  Menghormati sesama warga masyarakat.
§  Taat dan patuh terhadap aturan-aturan masyarakat.
§  Tidak bertindak di luar Norma.
§  Selalu memelihara ketertiban, keamanan, dan ketentraman.
¨     Sadar hukum di Lingkungan Negara.
Bentuk sadar hukum di dalam ruang lingkup kenegaraan antara lain sebagai berikut :
Ø Menjaga nama baik bangsa dan Negara.
Ø Taat dan patuh dalam menjalankan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Negara.
Ø Membayar pajak.
Ø Saling hormat antar sesama warga.

Macam-macam perbuatan yang melanggar hukum di masyarakat :

1. Pembajakan
Studi IDC menyebutkan tingkat pembajakan di Indonesia dialami sebesar 85% dengan potensi kerugian sebesar US$544 juta pada 2008. Jika dibandingkan 2007 naik sebesar 1% dari 84% dengan potensi kerugian sebesar US$411 juta. Dengan hasil 85% tersebut, Indonesia berada di posisi ke-12 dari 110 negara di dunia yang menjadi subjek penelitian. Persentase Indonesia ini sama dengan Vietnam dan Irak.
2. Pelangaran lalu lintas “yang ringan-ringan”
Tingginya pelanggaran lalu lintas bisa dilihat dari angka pelanggaran yang terus meningkat. Data di Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya tercatat catat 589.127 kasus selama tahun 2008 hingga awal 2009, atau rata-rata sehari sekitar 1.000 lebih terjadi pelanggaran. Dari angka tersebut, sekitar 60% dilakukan pengendara sepeda motor, 30% angkutan umum baik Mikrolet, Bis, Metromini dan lainnya, 10% sisanya mobil pribadi. Angka pelanggaran yang tercatat di kepolisian tersebut jauh lebih rendah dari yang sesungguhnya.

3. Pernikahan di bawah Umur
Laporan Pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh Bappenas menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring Pendidikan oleh Education Network for Justice di enam desa/kelurahan di Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruhan (Jawa Timur) menemukan 28,10% informan menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03%, dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di Jawa Timur (58,31%).
Angka tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25% dari jumlah pernikahan yang ada. Bahkan di beberapa daerah persentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43%), Kalimantan Selatan (35,48%), Jambi (30,63%), Jawa Barat (36%), dan Jawa Tengah (27,84%).
4. Main Hakim Sendiri
Sebagai illustrasi kasus dapat kita segarkan kembali ingatan kita pada peristiwa hukum main hakim sendiri, antara lain : Perististiwa Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang 200 orang dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Komplik di Sambas dan Poso di Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan beberapa toko, kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian ninja di DIY ; dan yang paling pahit untuk dikenang adalah perkelahian antara sesama anggota DPR RI pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung disaksikan oleh ratusan juta rakyat Indonesia melalui layar kaca.
Semua fenomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif. Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuhan karakter dan lain sebagainya.

5. Buang Sampah Sembarangan
Pemandangan yang namanya sampah itu sudah merupakan kenyataan sehari-hari. Banyak orang membuang sampah sembarangan, dari yang berpendidikan tinggi sampai yang rendah, dari yang kaya sampai yang miskin, dari mereka yang (maaf) menjabat sampai yang tidak menjabat. Sampai-sampai ada orang yang menyatakan bahwa buang sampah sembarangan sudah menjadi tradisi atau budaya.
Yah, memang masalah sampah bagaikan lingkaran setan yang tidak ada putus-putusnya. Penanganan sampah gampang-gampang susah. Gampang jika kita semua sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Gampang jika fasilitas persampahan untuk cukup dan terpelihara. Gampang jika semua aturan mengenai persampahan ditegakkan. Gampang jika semua petugas bekerja penuh semangat. Susah, ya jika sebagian besar masyarakat suka buang sembarangan. Susah jika aturan tidak ditegakkan. Susah kalau fasilitas tidak cukup dan tidak dipelihara. Susah kalau kita saling tuding, saling menyalahkan, saling berlepas diri.
6. Pemukiman di sembarang Tempat
Pengaruh pertambahan penduduk di lingkungan perkotaan terhadap kehidupan masyarakat, dapat bersifat positif bersifat negatif. Yang paling banyak disoroti oleh para perencana kota adalah pengaruh negatif pertambahan penduduk, antara lain terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Disamping itu, Mc Gee (1971) memandang bahwa perpindahan penduduk ke kota sering mengakibatkan urban berlebih yang pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang berhubungan dengan pengangguran, ketidakpuasan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh : Pemukiman di pinggir kali, di sekitar rel kereta api, dll.
7. Diskriminasi dan Sara
Sampai saat ini para pelaku diskriminasi dan SARA masih terbilang kurang terkena dampak hukum di Indonesia, makanya bisa dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan. Tragedi 13-15 Mei 1998 yang terjadi merupakan peristiwa politik yang sadis, kejam dan melanggar Hak Asasi Manusia. Tragedi tersebut tentunya tidak berhenti hanya sebagai problematika rasial, tapi telah menjadi momentum pembenaran bagi lahirnya peristiwa kekerasan-kekerasan berikutnya. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Ketapang, Kupang, Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Barat, Poso, Makassar, Medan, Mataram, Yogyakarta, Yayasan Doulos, Banyuwangi, dan banyak lagi lainnya, hanya dilihat sebagai peristiwa politik yang layak disesalkan, tapi tidak untuk dituntaskan penyelesaian hukumnya.
8. Pengemis
Tindakan tegas yang dilakukan Dinas Sosial terhadap pemberi sedekah kepada pengemis di jalan sesuai dengan Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Sanksi yang tercantum dalam perda cukup berat, kurungan tiga bulan atau denda maksimal Rp 20 juta. Dan untuk si pemberi sedekah akan didenda Rp 300 ribu.Operasi penertiban sosial sudah menjadi agenda Dinas Sosial dalam menekan angka pengemis jalanan yang terus meningkat tiap tahunnya, terutama menjelang puasa dan Lebaran.
9. Kelakuan Para Pejabat
Contoh : Sebanyak 75 mobil dinas anggota DPRD DKI Jakarta masa jabatan 2004-2009 belum dikembalikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, para wakil rakyat itu sudah mengakhiri masa jabatannya pada Selasa (25/8). Para anggota Dewan kecuali empat pimpinan Dewan diberi fasilitas berupa mobil dinas Toyota Altis tahun 2007. Mobil itu dibeli dengan menggunakan APBD DKI dan berfungsi sebagai mobil operasional. Jadi, begitu anggota Dewan berhenti, mereka wajib mengembalikan mobil tersebut. Masih banyak lagi sebenarnya seperti : Tidur saat rapat paripurna, kasus suap dan korupsi, berkelahi sampai video porno, kalau semuanya dibahas satu persatu tidak akan cukup. Setidaknya itulah gambaran negatif kelakuan para pejabat yang tidak perlu ditiru.

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
Nama  : Andre Pradana
NPM  : 30413913
Kelas  : 2ID06

Norwegia: Negara Terbaik di Dunia

Baru-baru ini badan program pembangunan PBB (UNDP) menobatkan Norwegia sebagai negara terbaik di dunia, dengan tiga indikator penilaian, tingkat pendidikan, pendapatan perkapita dan kesehatan masyarakatnya.
Pada rilis tersebut juga mencantumkan Indonesia pada urutan 124 dari 187 negara yang di survei.

Bagi Norwegia sendiri ini tidaklah mengejutkan karena sebelumnya sudah sembilan kali berturut – turut di tasbihkan sebagai negara yang paling di inginkan sebagai tempat tinggal di dunia oleh lembaga yang sama. Berikut ini ada beberapa fakta menarik tentang kehidupan di Norwegia yang saya dapatkan selama menempuh pendidikan di negara ini.

Bidang pendidikan, Norwegia menggratiskan seluruh biaya pendidikan pada semua jenjangnya, ini juga berlaku bagi warga negara asing yang bersekolah di sini. Bantuan beasiswa yang didapatkan dari pemerintah Norwegia, hanya dipergunakan untuk biaya hidup.

Untuk mahasiswa juga disediakan kredit pelajar, artinya selama mahasiwa menyelesaikan pendidikan, biaya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari seperti penginapan, makanan dan lainnya mereka dapatkan dari pinjaman bank dan akan mulai membayar cicilan ketika telah menyelesaikan pendidikan dan bekerja. Mahasiswa sama sekali tidak tergantung pada dana orang tua.

Untuk pendapatan penduduknya, negara ini penganut ekonomi sosialis, dengan ciri khasnya adalah perbedaan pendapatan diantara semua profesi tidak terlalu jauh, profesor sampai petugas kebersihan bisa hidup layak dari gaji mereka, bila profesor menggunakan mobil ke kampus, maka begitu juga dengan petugas kebersihan. Ciri khas lainnya, pajak yang tinggi, sehingga yang terjadi adalah yang beperpendapat tinggi membantu yang lainnya.

Bagaimana kalau kita sedang tidak memiliki pekerjaan atau karena alasan tertentu kita tidak mampu bekerja sebagaimana lazimnya?, tenang, pemerintah akan mensubsidi biaya hidup dan membantu mencari pekerjaan untuk kita.

Bila anda penduduk Norwegia dan berumur 67 tahun, saatnya mengambil pensiun dan mempergunakan waktu untuk menikmati hidup, berliburanlah ke banyak negara. Pada usia tersebut semua orang akan mendapat gaji pensiun, terlepas apapun pekerjaan anda, pegawai negeri, pegawai swasta, pebisnis atau anda hanya petani, semua akan mendapat pensiun yang yang layak.

Sebagai ilustrasi gaji, orang yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit, mendapat bayaran 200 kroner (300 ratus ribu rupiah) perjam, kalau satu hari kerja 8 jam, maka pendapatanya 2,4 juta rupiah perhari. Jika bekerja pada hari libur atau hari-hari besar maka pendapatannya akan lebih dari itu.

Untuk bidang kesehatan, Norwegia juga menggratiskan biaya perawatan kesehatan. Selain biaya rawat inap, obat-obatan, mereka juga menggratiskan ambulance. Untuk makanan, pasien bisa pergi sendiri ke dapur dan makan semau dan sepuasnya, kecuali pasien yang harus tetap diatas tempat tidur tentunya.

Standar ruangan dan pelayanan sama untuk semua masyarakat termasuk raja dan keluarganya, ruangan di rumah sakit tidak menganal perbedaan kelas, tidak ada bangsal ataupun VIP, semua ruangan sama, tergantung kebutuhan pelayanan saja.

Menjadi wanita hamil sangat terhormat di negara ini, selain menggratiskan semua biaya pemeriksaan kehamilan dan persalinan, pada saat melahirkan seorang ibu juga akan menerima bantuan dari pemerintah sebesar 35 ribu kroner (55 juta rupiah).

Nama : Andre Pradana
NPM : 30413913
Kelas : 2ID06
TUGAS ILMU SOSIAL DASAR

Sejarah Kota Depok

Sejarah Kota Depok

DepokAwalnya Depok merupakan sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696 seorang pejabat tinggi VOC,Cornelis Chastelein, membeli tanah yang meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya  dan Bojonggede.  Chastelein mempekerjakan sekitar seratusan pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina.
Selain mengelola perkebunan, Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkatDEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal.  Sampai saat ini, keturunan pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga. Adapun marga-marga tersebut adalah :
  1. Jonathans
  2. Laurens
  3. Bacas
  4. Loen
  5. Soedira
  6. Isakh
  7. Samuel
  8. Leander
  9. Joseph
  10. Tholense
  11. Jacob
  12. Zadokh
Tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat Gemeente (Desa Otonom).
Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942.  Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung.  Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha, namun  dihapus pada tahun 1952 setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak lainnya.
Sejak saat itu, dimulailah pemerintahan kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui proyek perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I dan Perumnas Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok yang lebih pesat sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk kota Administratif Depok yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud).
Sejak tahun 1999, melalui UU nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :
  1. Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
  2. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
  3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
  4. Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 2.595,3 Ha.
  5. Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
  6. Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.
ASAL USUL PONDOK CINA
Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong.  Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok.  Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.
Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota.  Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta.  Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan Depok : Daerah ElitPemukiman Orang Kota.  Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.
Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu.  Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar.  Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api.  Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat.  Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.
Sebagai daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat  peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok.  Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal.  Ini tentu menyulitkan mereka.  Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa memakan waktu setengah hari,  pedagang-pedagang tersebut membuat tempat transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong.  Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut.  Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina.  Sebutan ini berawal ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam.  Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa.  Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”
Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918.  Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina.  Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang.  Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah.  Yang tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan Tionghoa.  Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri.  Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda.  Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke tempat lain.  Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di sana.  Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.
“Saya sangat senang tinggal disini, karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”.  Dulunya, cerita Sri, penduduk di Pondok Cina sangat sedikit.  Itupun masih terbilang keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,” kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.
“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan disini,” kata ibu Sri lagi.  Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat.  Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini.  Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas di Pondok Cina.
ASAL USUL MARGONDA
Margonda yang kini menjadi nama jalan protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda. Yang jelas, nama Margonda kini identik dengan Depok. Sebut saja “Margonda”, maka pasti orang akan mengasosiasikannya dengan “Depok”, beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang kian terus berkembang.

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
Nama : Andre Pradana
NPM   : 30413913
Kelas : 2ID06