Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.
Dua orang anak
perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang
nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas
potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya
untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi
sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan
rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang
kali.
Setelah dirasa
permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu
ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala
kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan
mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa
ngilu.
Inilah puncak
dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten
Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah
dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah
satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap
pinang, hukum adat sudah merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju
ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian
acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan
melaksanakan tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan berpantun
mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.
Syair-syair
dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah
ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun
yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi
pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para
penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus
menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para
peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai
Sekutu”.
Tidak lama
kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk
disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat
dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak
tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk
tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara
tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar
mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian
kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung
non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit, acara tandak pun
bubar.
Sebelum menuju
acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi
yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari
nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan
syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan
acara.
Ketika tiba
sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya.
Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih
memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah
tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah
satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima
kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”.
Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di
atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang
kelima, anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju
rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah
tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah
batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga
Seluruh
rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala
kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang
siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan
acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa
oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk
bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah
menjadi tradisi, pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan
berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing
ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing
akan menerima balasan tikar ataupun beras.
Bagaimanapun,
dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga.
Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,
walaupun secara ekonomis biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Dikutip dari sumber : http://awalnya.blogspot.com/2011/12/sorongiis-ritual-pendewasaan-perempuan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar