Minggu, 26 Februari 2017

Akhir Cerita Indah Claudio Ranieri (dan Leicester City)

Menjelang akhir musim 2014/2015, Leicester City merupakan kandidat terkuat untuk terdegradasi dari kompetisi Barclays Premier League. Menjadi juru kunci selama hampir 4 bulan, tidak ada yang memprediksi bahwa Leicester City akan bertahan pada kompetisi Barclays Premier League.

Namun, keajaiban benar-benar terjadi. Dalam 9 pertandingan terakhir mereka pada musim 2014/2015, Leicester seolah dinaungi dewi fortuna. Leicester mencatat 7 kali kemenangan, 1 kali hasil imbang, dan hanya 1 kali menderita kekalahan ketika berhadapan dengan sang juara pada musim tersebut, Chelsea.

Dengan hasil tersebut, Leicester mendapat 22 poin ekstra yang memastikan mereka akan tetap berkompetisi di ajang Barclays Premier League musim depan. Leicester yang pada saat itu merupakan tim promosi patut berterima kasih kepada pelatih mereka yang mengantarkan mereka menjuarai Championship Division pada musim 2013/2014, Nigel Pearson.

Akan tetapi, kemesraan Pearson dengan Leicester tak bertahan lama. Hanya berselang sebulan setelah "menyelamatkan" Leicester, Pearson mendapat perlakuan tak menyenangkan dari klub. Ya, pada tanggal 30 Juni 2015, Leicester secara resmi memecat Pearson. Dan, pada tangal  13 Juli 2015, Leicester resmi mengontrak....

Foto : lcfc.com

Claudio Ranieri, pelatih yang memang sudah malang melintang di kancah persepakbolaan Eropa. Sayangnya, Ranieri datang ke Leicester dengan rapor yang buruk. Kalah dari Kepulauan Faroe -yang notabene merupakan salah satu tim terlemah di kawasan Eropa- ternyata sudah membuat pihak tim nasional Yunani hilang harapan terhadap Ranieri, ia pun dipecat setelah kekalahan memalukan itu.


Ranieri pada saat diwawancarai oleh Leicester Mercury mengatakan bahwa melatih tim nasional itu berbeda bila dibandingkan dengan melatih klub, sehingga tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal.

Ranieri diberi target oleh manajemen Leicester, yakni bertahan di kompetisi Barclays Premier League. Target yang dialamatkan kepada Ranieri adalah tetap mempertahankan posisi Leicester di Premier League berkaca pada penampilan mereka musim lalu dimana mereka menjadi juru kunci kalsemen selama hampir 4 bulan.

Awal perjalanan mereka tergolong cukup baik, dalam 10 pertandingan awal, mereka hanya menelan 1 kali kekalahan yaitu pada saat melawan Arsenal. Leicester juga sempat meraih catatan mengesankan dengan berhasil menyamakan atau bahkan membalikkan keadaan ketika mereka tertinggal pada beberapa pertandingan.

Namun, hasil tersebut tidak begitu mendapat tanggapan yang positif. Banyak yang beranggapan bahwa Leicester diuntungkan jadwal karena mereka melawan tim yang tidak terlalu kuat. Tapi, seiring berjalannya waktu, performa Leicester tetap konsisten setidaknya sampai sebelum Boxing Day. Bahkan ketika bertemu tim besar, mereka tercatat hanya kalah dari Arsenal dan Liverpool.

Salah satu faktor Leicester tetap konsisten pada paruh awal musim ialah tajamnya dua pemain andalan Ranieri, yakni Riyad Mahrez dan Jamie Vardy. Dan khusus untuk Vardy, ia mencapai masa keemasan ketika ia menciptakan rekor yaitu mencetak gol dalam 11 pertandingan beruntun di Premier League yang mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh Ruud van Nistelrooy.

Memasuki awal tahun 2016, laju Leicester kian tak terbendung. Yang paling diingat, ketika mereka berhasil mengalahkan favorit juara pada musim itu, Manchester City, dengan skor 3-1 saat bertandang ke Manchester. Atas hasil itu pula banyak pendukung klub-klub lain menginginkan Leicester menjadi kampiun pada akhir musim.Banyak fans menginginkan Leicester juara karena hal tersebut mungkin merupakan suatu anomali yang tidak akan bisa terulang.

Dan sampai akhirnya pada tanggal 2 Mei 2016, pesaing terdekat Leicester, Tottenham Hotspur yang membutuhkan kemenangan demi menjaga kans sebagai kampiun, ditahan imbang Chelsea 2-2, maka atas hasil tersebut Leicester City resmi membuat cerita yang indah dengan meraih gelar juara Premier League.

Hasil gambar untuk leicester city champion
Foto : Getty Images

Kisah sukses Leicester memang dianggap dongeng oleh berbagai pihak, para pemain Leicester diibaratkan sebagai tokoh protagonis dan Claudio Ranieri bak sutradara dari lahirnya kisah sukses Leicester. Dia yang dulu dipecat karena kalah dari tim kecil yang kemudian menjelma menjadi tokoh sukses dari kesuksesan tim kecil -yang bahkan pada saat musim dimulai, bursa taruhan menaruh kemungkinan 5000:1 terhadap Leicester- yang dianggap mustahil melakukan hal luar biasa seperti itu. 


Namun, cerita indah itu hanya awal dari hal terburuk yang terjadi....

Memasuki musim berikutnya, Ranieri tetap realistis. Alih-alih memasang target setidaknya bisa kembali bersaing di papan atas, Ranieri hanya memasang target bahwa Leicester harus bertahan di Premier League. Ranieri sadar bahwa performa musim lalu tidak akan terulang. Terlebih, Leicester tampil di ajanga Champions League.

Dan benar saja, performa Leicester di awal musim berbeda dengan musim lalu. Bahkan dari 10 pertandingan awal, Leicester hanya menang 3 kali. Sangat berbeda jauh dibanding musim lalu dimana mereka hanya 1 kali menelan kekalahan.

Performa mereka pun tak kunjung membaik sampai memasuki awal tahun 2017. Bahkan dalam 5 pertandingan terakhir, Leicester selalu merasakan kekalahan. Atas hasil tersebut, Leicester berada dalam zona bahaya. Manajemen Leicester harus melakukan sesuatu agar mereka tetap bertahan pada akhir musim.

Dan akhirnya pada tanggal 23 Februari lalu, Ranieri resmi dipecat oleh Leicester atas hasil buruk musim ini.

Tapi, banyak yang tidak terima dengan pemecatan Ranieri, tidak hanya fans Leicester, tetapi hampir seluruh pecinta sepakbola tidak setuju bahkan tersebut. Media sosial ofisial klub dan bahkan media sosial pemain Leicester pun dipenuhi dengan komentar pedas oleh para netizen, yang menganggap Leicester tidak tahu terima kasih dengan memecat Ranieri atas hasil buruk yang dialami klub. Bahkan seorang Jose Mourinho pun memberikan ucapan rasa simpatinya atas apa yag dialami oleh Ranieri.

Namun, di antara semua gelombang protes itu, ada yang berpendapat bahwa pemecatan Ranieri sudah tepat. Salah satunya diungkapkan mantan pemain Leicester asal Turki, Mustapha Izzet atau yang lebih dikenal dengan nama Muzzy Izzet. yang berpendapat memang harus ada perubahan di kubu The Foxes jika ingin bertahan di EFL.

Well, terlepas siapapun pelatih yang akan menggantikan Ranieri, publik harus menerima kenyataan bahwa cerita indah yang ditulis Ranieri berakhir dengan cara yang tidak diinginkan. Walaupun begitu, nama Claudio Ranieri akan tetap dikenang oleh publik Leicester.